Thursday, April 23, 2009

Sebuah Refleksi yang Butuh Tindakan

Anak-anak kolong jembatan. Topik yang klise, tapi pernahkah terpikir oleh kita, seperti apa sebenarnya hidup mereka? Saya baru saja menonton Slumdog Millionaire, dan saya trenyuh melihat hidup rakyat tidak mampu yang hidup di daerah-daerah kumuh yang tidak layak ditinggali. Rumah yang hanya sepetak, berdempetan satu sama lain, yang bahkan lewat jendela, kita bisa tahu apa yang sedang dikerjakan oleh tetangga seberang. Mencuci, mandi, buang air, semuanya dilakukan di satu sarana serbaguna: sungai. Ironisnya lagi, sungai ini juga yang menjadi tempat hiburan anak-anak, di mana mereka bisa bermain air. Mungkin ada satu tempat buang air yang lebih manusiawi, di mana mereka membangun kotak-kotak seperti WC umum di tengah-tengah ladang. Saluran pembuangannya pun sangat alami dan tidak perlu teknologi tinggi: langsung nyemplung ke tanah.

Saya kurang tahu, apakah Indonesia lebih baik dari India di film itu. Tapi, di Indonesia juga, saya melihat bagaimana seorang ibu menidurkan bayinya di atas trotoar hanya dengan beralaskan kertas koran. Bagaimana anak-anak usia sekolah berkeliaran di lampu merah dan meminta-minta. Untuk berapa banyaknya uang, sih mereka berpanas-panas seperti itu? Kalau ada yang cukup peduli, paling-paling 500 perak sekali buka kaca mobil. Hey, mereka itu, seharusnya sekolah! Menikmati masa kecil, bermain, belajar. Belum lagi anak-anak yang sudah tidak punya ayah atau ibu. Tidak punya rumah, kecil-kecil harus hidup bergantung sama diri sendiri. Kebanyakan, mereka sudah tidak tahu lagi ke mana harus melangkah. Yang ada, mereka jadi terpaksa mengikuti bagaimana arus kehidupan membawa mereka.

Sedihnya, kalau masih ada orang-orang yang kepikiran memanfaatkan nasib mereka. Anak-anak ini - mereka tidak tahu dan tidak pernah diajarkan, bagaimana harus membedakan orang yang benar-benar tulus membantu mereka, dan mana yang hanya ingin memanfaatkan mereka. Tidak ada pilihan lain, tawaran apapun jadi tawaran terbaik. Segalanya diiyakan saja. Mati, ya mati.

Hasilnya, seringkali kita lihat di tengah jalan, anak-anak atau ibu-ibu dengan bayi mereka dijadikan pengamen atau peminta-minta. Gadis-gadis dijadikan pelacur dan penghibur pria. Untuk kemudian menghasilkan uang buat mereka. Kenapa? Tidak adakah hal lain yang bisa kita lakukan untuk mereka? Are they good for nothing except to get few amounts of money by doing all that? Seakan-akan, the least they can do is begging for money or selling their own bodies. Hanya karena mereka tidak pernah sekolah atau mendapatkan pendidikan, tidak berarti mereka bisa digunakan seenaknya. Jadi, kalau kita pernah merasa anak-anak jalanan ini menyebalkan, suka berbuat yang aneh-aneh, atau berbahaya - mereka hanyalah produk dari apa yang diajarkan kekerasan kehidupan kepada mereka. Atau lebih ironis lagi, kalau itu merupakan produk dari apa yang kita - sesama manusia lakukan kepada mereka.

Mungkin kita berpikir bahwa ide 'self-actualization' atau mengejar mimpi, hanya mungkin dilakukan oleh kita orang-orang terpelajar. Dan bahwa semua itu jauh sekali dari pikiran dan kehidupan mereka. Tapi apa perlu, kita meremehkan mimpi mereka? Waktu kemudian mereka bisa meraihnya, apa perlu kita mengidentikkannya dengan permainan curang, kebetulan, dan segala macam pikiran negatif yang ada? Serendah itu ya, mereka? Sebegitu tidak layaknyakah mereka untuk punya kualitas hidup seperti layaknya kita, manusia?

Mereka memang jauh di bawah sana. Kita mungkin hidup jauh dengan nyamannya di atas sini. Tapi bukankah seharusnya kita mengangkat mereka? Bukannya menempatkan mereka di sebuah kasta berbeda dari kita, di sebuah sistem sosial yang berbeda, mengecap mereka sebagai orang-orang yang tidak masuk hitungan dan selayaknya tetap berada di sana. Saya hanya teringat sekali lagi, bahwa kita hidup di dunia yang sama yang Tuhan ciptakan: buat kita, dan juga buat mereka. Hak mereka, tidak lebih dan tidak kurang dari kita.

Kita seringkali bilang, bahwa anak-anak jalanan itu berbuat tindak kejahatan atau hal-hal aneh lainnya karena mereka tidak punya pilihan. Kemudian kita dengan mudahnya bilang, bahwa 'tidak punya pilihan' adalah sebuah alasan yang klise, yang dibuat-buat. Bahwa mereka, kan tetap bisa membuat pilihan yang benar. 'Kayak engga ada jalan lain aja..' begitu kira-kira kita sering bilang. Saya baru sadar sekarang: pernahkah kita berpikir, bahwa mungkin memang tidak ada jalan lain terbuka bagi mereka? Bahwa mereka mungkin memang tidak punya pilihan. Apa hak kita untuk bilang bahwa mereka harusnya bisa membuat pilihan yang benar, sementara di sisi lain, kita bahkan tidak pernah memberikan pilihan apa-apa untuk mereka. Menengok dan peduli saja tidak cukup, mereka butuh tindakan.

No comments:

Post a Comment