Perhaps at this point you can take a while and ask yourself: has my life been a journey, or an adventure? Because they are different, and the way you look at your life will actually determine the way you live it; the way you make choices in it; the way you carry yourself through.
I have just been reminded that seeing our lives as a journey is not a very good idea after all. Think about this: a 70-80 years of journey? Seriously? A 2 hours-journey in a car of Jakarta-Bandung, seeing only roads after roads or fields after fields is a boring thing already. Or think about a 1.5 hours journey of Jakarta-Singapore flight. Having only rows of seats, few air crews, clouds everywhere outside there; they are not fun at all! When we look at our lives as a journey, we will end up cruising through life. Just enjoy life -that's true, but when your trip is just roads everywhere, or fields everywhere, or clouds everywhere while you are just sitting; you will end up getting sick of the trip, getting sick of the things you are supposed to enjoy.
So think about the other kind of enjoying life. When you look at your life as an adventure; when you have a trip of flat tires, petrol running out so you and your buddies need to take miles of walking the rocky mountain to reach the nearest gas station. And how in the middle of the way you will meet a friendly stranger that is offering you a ride, and in the end you find out that that stranger actually happen to be your childhood friend that has changed so differently from he was before. So then you manage to fill the tank up again, and manage to reach the nearest city to stay for the night. But you can't find any vacant room in all the motels; instead they offer you to pitch a tent in their garden. The next morning you continue your trip, passing through all the fields and mountains again, when you suddenly realize that you are hungry and the food you bring has all been eaten up! So you and your buddies need to find a way to get some food. Now across the field there is this forest fully planted by apple trees. Having no choice, you walk across the field, going up the trees and pick the apples for you guys to eat, and continue the trip.
Ok, enough. Now, all of us would agree that the first trip is far easier than the second one. No hassle, no problems, the trip has been just smooth, everything is in place and as planned. But to be honest, they are boring! No story to tell, nothing to share and impress others. As for the second one, has it been a tough trip? Yes. Is it a challenging one? Yes. Is it hard and tiring? Yes. But I have a story to tell, I had an adventure that you can be jealous of.
So, the question is, have we lived our life as a journey -where we are just cruising through the easiness and comfort in life, or has it been an adventure -where we face challenging experiences? Which one will we go after?
Yes, I don't want to waste my life. I only have one life to live; once in a lifetime when I can become 21; once in a lifetime that I can live on Sunday, June 14, 2009. And I might as well living it all out. When I have a dream, I want to go all out for it! When I am to choose my career, or the path of my life, I would just go for the hardest, I will go for the things I love, no matter how challenging it may be. I will just challenge myself everyday, I will just go for an adventure! I will just do whatever I've never done before.
If you want to fly, you need to be brave to have the ground taken off your feet.
- Caleb Natanielliem
Sunday, June 14, 2009
Beautifully Imperfect
Pernah engga merasa selalu engga cukup pantas untuk menjadi 'seseorang'? Engga cukup pantas untuk mendapatkan sesuatu, atau engga cukup pantas untuk menyayangi atau disayangi?
Saya menyadari adanya 2 ekstrim dalam diri setiap orang. Yang satu, adalah perasaan cepat puas, yang akhirnya mengakibatkan kita enggan menantang diri sendiri untuk melakukan hal yang lebih besar lagi, yang lebih sulit lagi, yang lebih mustahil lagi. Sementara ekstrim yang lain adalah perasaan yang justru engga pernah puas dengan diri sendiri. Seringkali kita jadi orang perfeksionis yang berlebihan waktu kita menghadapi diri sendiri. Merasa diri engga cukup baik, engga cukup bagus, engga cukup mampu; dan kita selalu menaruh standar yang terlalu tinggi untuk diri sendiri. Dan pada akhirnya, kita frustrasi karena kita merasa selalu engga cukup sempurna.
Padahal ya, kita -manusia memang engga sempurna, kok. Jadi, menurut saya, santai aja deh. Dan saya mau menghibur yang pernah berpikir seperti itu. Saya juga pernah berusaha untuk engga pernah salah dalam segala hal, saya pernah berusaha untuk menjadi sempurna tanpa cacat cela dalam segala sesuatu, saya pernah berusaha untuk memenuhi semua yang saya kira sebagai tuntutan orang-orang terhadap diri saya. Tapi ternyata kalau direnungkan lagi, sebenarnya semua itu sama sekali bukan tuntutan orang lain; semua itu sebenarnya tuntutan diri saya sendiri untuk memenuhi standar yang saya buat, untuk menjadi cukup sempurna.
Jadi, saran saya, cintai aja diri sendiri. Seperti idiom yang sering kita dengar, nobody is perfect. Itu bukan cuma kata-kata klise, tapi itu memang perlu kita sadari untuk membuat kita sedikit lega, karena ternyata kita memang engga perlu sempurna-sempurna amat. But that we are all beautifully imperfect. Ketidak sempurnaan yang kita punya, justru akan membuat kita menjadi semakin menarik. Kekurangan kita membuat kita justru menyadari, bahwa kita perlu menyayangi dan disayangi.
Saya menyadari adanya 2 ekstrim dalam diri setiap orang. Yang satu, adalah perasaan cepat puas, yang akhirnya mengakibatkan kita enggan menantang diri sendiri untuk melakukan hal yang lebih besar lagi, yang lebih sulit lagi, yang lebih mustahil lagi. Sementara ekstrim yang lain adalah perasaan yang justru engga pernah puas dengan diri sendiri. Seringkali kita jadi orang perfeksionis yang berlebihan waktu kita menghadapi diri sendiri. Merasa diri engga cukup baik, engga cukup bagus, engga cukup mampu; dan kita selalu menaruh standar yang terlalu tinggi untuk diri sendiri. Dan pada akhirnya, kita frustrasi karena kita merasa selalu engga cukup sempurna.
Padahal ya, kita -manusia memang engga sempurna, kok. Jadi, menurut saya, santai aja deh. Dan saya mau menghibur yang pernah berpikir seperti itu. Saya juga pernah berusaha untuk engga pernah salah dalam segala hal, saya pernah berusaha untuk menjadi sempurna tanpa cacat cela dalam segala sesuatu, saya pernah berusaha untuk memenuhi semua yang saya kira sebagai tuntutan orang-orang terhadap diri saya. Tapi ternyata kalau direnungkan lagi, sebenarnya semua itu sama sekali bukan tuntutan orang lain; semua itu sebenarnya tuntutan diri saya sendiri untuk memenuhi standar yang saya buat, untuk menjadi cukup sempurna.
Jadi, saran saya, cintai aja diri sendiri. Seperti idiom yang sering kita dengar, nobody is perfect. Itu bukan cuma kata-kata klise, tapi itu memang perlu kita sadari untuk membuat kita sedikit lega, karena ternyata kita memang engga perlu sempurna-sempurna amat. But that we are all beautifully imperfect. Ketidak sempurnaan yang kita punya, justru akan membuat kita menjadi semakin menarik. Kekurangan kita membuat kita justru menyadari, bahwa kita perlu menyayangi dan disayangi.
Tuesday, June 9, 2009
Really, actually.
Could I say that I'm afraid I might lose something, while in fact, I have never had it?
Or then it means that I might only have a feeling of having it, while it has never really belonged to me.
And then I can't really say that it would leave me, because it has never actually stayed.
So, why should the fear bother me?
Or then it means that I might only have a feeling of having it, while it has never really belonged to me.
And then I can't really say that it would leave me, because it has never actually stayed.
So, why should the fear bother me?
Monday, June 1, 2009
Kerja Keras Untuk Istirahat?
Beberapa hari belakangan ini, saya menyadari adanya sebuah paradoks yang bikin saya engga mengerti sama manusia, termasuk diri sendiri.
Kita seringkali -atau malahan, senantiasa bekerja keras untuk beristirahat. Kalau mau dibilang, tujuan kita kerja keras banting tulang capek-capek itu buat apa, sih. Cuma buat mendapatkan yang namanya istirahat, kan? Buat mendapatkan satu hal berharga dalam hidup ini, yaitu menikmati hidup itu sendiri.
Dan kalau kita kilas balik lagi, engga heran kalau kita jengkel sama hidup. Engga heran kalau kita selalu mengeluh bahwa hidup itu susah, bahwa hidup itu engga adil. Karena waktu kita bekerja keras buat istirahat, itu engga akan ada habisnya. Kita akan menemukan diri kita restless setiap saat, dan selalu merasa bahwa kita engga cukup kerja keras buat bisa cukup menikmati hidup. Dan kemudian kita akan memaksa diri kita untuk bekerja lebih keras lagi. Pertanyaannya adalah, mau sampai kapan?
Kenapa, sih, kita engga mengalir aja sama kehidupan. Engga usah ngotot-ngotot sama kemauan diri sendiri, and always try to meet the expectation we impose on ourselves. Dan rasanya, dengan kayak gitu kita akan lebih bisa menikmati hidup, dan engga jadi seperti orang yang sudah mati padahal jelas-jelas kita masih hidup di dunia ini. Remember, life is to be enjoyed, not just endured.
Akhirnya, saya mau tutup dengan kutipan di bawah ini; tentang kehidupan dan bagaimana seringkali kita terjebak dalam apa yang kita capai di kehidupan itu sendiri:
The paradox of our time in history is that we have taller buildings but shorter tempers; wider freeways, but narrower viewpoints. We spend more, but have less; we buy more, but enjoy less. We have bigger houses and smaller families; more conveniences, but less time. We have more degrees but less sense; more knowledge, but less judgment; more experts, yet more
problems; more medicine, but less wellness.
We've learned how to make a living, but not a life. We've added years to life not life to years. We've been all the way to the moon and back, but have trouble crossing the street to meet a new neighbor. We conquered outer space but not inner space. We've done larger things, but not better things. We've cleaned up the air, but polluted the soul. We write more, but learn less. We've learned to rush, but not to wait.
- Bob Moorehead
Kita seringkali -atau malahan, senantiasa bekerja keras untuk beristirahat. Kalau mau dibilang, tujuan kita kerja keras banting tulang capek-capek itu buat apa, sih. Cuma buat mendapatkan yang namanya istirahat, kan? Buat mendapatkan satu hal berharga dalam hidup ini, yaitu menikmati hidup itu sendiri.
Dan kalau kita kilas balik lagi, engga heran kalau kita jengkel sama hidup. Engga heran kalau kita selalu mengeluh bahwa hidup itu susah, bahwa hidup itu engga adil. Karena waktu kita bekerja keras buat istirahat, itu engga akan ada habisnya. Kita akan menemukan diri kita restless setiap saat, dan selalu merasa bahwa kita engga cukup kerja keras buat bisa cukup menikmati hidup. Dan kemudian kita akan memaksa diri kita untuk bekerja lebih keras lagi. Pertanyaannya adalah, mau sampai kapan?
Kenapa, sih, kita engga mengalir aja sama kehidupan. Engga usah ngotot-ngotot sama kemauan diri sendiri, and always try to meet the expectation we impose on ourselves. Dan rasanya, dengan kayak gitu kita akan lebih bisa menikmati hidup, dan engga jadi seperti orang yang sudah mati padahal jelas-jelas kita masih hidup di dunia ini. Remember, life is to be enjoyed, not just endured.
Akhirnya, saya mau tutup dengan kutipan di bawah ini; tentang kehidupan dan bagaimana seringkali kita terjebak dalam apa yang kita capai di kehidupan itu sendiri:
The paradox of our time in history is that we have taller buildings but shorter tempers; wider freeways, but narrower viewpoints. We spend more, but have less; we buy more, but enjoy less. We have bigger houses and smaller families; more conveniences, but less time. We have more degrees but less sense; more knowledge, but less judgment; more experts, yet more
problems; more medicine, but less wellness.
We've learned how to make a living, but not a life. We've added years to life not life to years. We've been all the way to the moon and back, but have trouble crossing the street to meet a new neighbor. We conquered outer space but not inner space. We've done larger things, but not better things. We've cleaned up the air, but polluted the soul. We write more, but learn less. We've learned to rush, but not to wait.
- Bob Moorehead
Tentang Tuhan
Kali ini saya cuma mau berbagi tentang Tuhan.
Di tengah-tengah krisis atau problema yang terjadi di sekitar kita, banyak orang seringkali bertanya, "Di mana Tuhan?" Seakan-akan kalau ada sesuatu yang engga beres sama dunia ini, yang bertanggung jawab itu pasti selalu Tuhan. Dan seringkali, sekalipun kita percaya sama keberadaan Tuhan, kita jadi ragu juga. Mengingat betapa rajinnya kita berdoa dan memanggil-manggil Tuhan, dan sepertinya Tuhan engga menjawab-jawab.
Dan kemudian, saya jadi teringat sama permainan populer masa kecil, petak umpet. Kalau kita lihat secara sekilas, permainan petak umpet itu, kan tujuannya supaya yang ngumpet bisa pinter cari tempat ngumpet sampai engga bisa ditemuin sama yang jaga. Tapi, coba pikir-pikir lagi, deh. Apa, sih serunya main petak umpet, kalau yang ngumpet terlalu susah buat ditemuin. Bagian paling seru dari main petak umpet justru adalah waktu yang jaga nemuin yang ngumpet. Dan kalau kita pikir-pikir lagi, bener juga. Temen yang ngumpet pasti menunggu-nunggu dalam hati dengan antusiasnya, supaya ditemuin. You are actually hiding to be found.
Dan, ini juga yang saya pikir tentang Tuhan. Waktu kita nyari dan manggil-manggil dan Tuhan engga jawab-jawab, mungkin Tuhan lagi sembunyi, dan sebenarnya menunggu untuk ditemukan. Jadi, cari terus aja.
Di tengah-tengah krisis atau problema yang terjadi di sekitar kita, banyak orang seringkali bertanya, "Di mana Tuhan?" Seakan-akan kalau ada sesuatu yang engga beres sama dunia ini, yang bertanggung jawab itu pasti selalu Tuhan. Dan seringkali, sekalipun kita percaya sama keberadaan Tuhan, kita jadi ragu juga. Mengingat betapa rajinnya kita berdoa dan memanggil-manggil Tuhan, dan sepertinya Tuhan engga menjawab-jawab.
Dan kemudian, saya jadi teringat sama permainan populer masa kecil, petak umpet. Kalau kita lihat secara sekilas, permainan petak umpet itu, kan tujuannya supaya yang ngumpet bisa pinter cari tempat ngumpet sampai engga bisa ditemuin sama yang jaga. Tapi, coba pikir-pikir lagi, deh. Apa, sih serunya main petak umpet, kalau yang ngumpet terlalu susah buat ditemuin. Bagian paling seru dari main petak umpet justru adalah waktu yang jaga nemuin yang ngumpet. Dan kalau kita pikir-pikir lagi, bener juga. Temen yang ngumpet pasti menunggu-nunggu dalam hati dengan antusiasnya, supaya ditemuin. You are actually hiding to be found.
Dan, ini juga yang saya pikir tentang Tuhan. Waktu kita nyari dan manggil-manggil dan Tuhan engga jawab-jawab, mungkin Tuhan lagi sembunyi, dan sebenarnya menunggu untuk ditemukan. Jadi, cari terus aja.
Subscribe to:
Posts (Atom)