Sayangnya saya memang belum jadi orang tua. Saya memang belum punya anak, dan berbagai tanggung jawab lainnya yang ada di pundak saya. Tapi paling enggak, saya adalah seorang anak. Dan paling enggak saya bisa menilai bagaimana dan apa penyebab banyak anak-anak seperti kita yang memberontak, atau melawan orang tua.
Bilang saja saya sok tahu. Tapi, paling enggak coba baca tulisan saya di bawah ini. Sekali lagi, saya memang belum jadi orang tua; tapi anggap saja bahwa inilah yang seringkali menjadi seruan hati kita semua sebagai seorang anak dalam keluarga.
Sekarang, coba ingat-ingat waktu kita semua masih kecil. Masih balita, atau mungkin sampai SD. Orang tua kita pasti sering banget suruh kita begini, begitu. Kita diajarin ini, diajarin itu. Hampir segala sesuatu -dari jam bangun tidur, makan, main, ngeles, tidur siang, mandi, sampai tidur malam lagi, diatur orang tua. Menurut versi ke-sok tahu-an saya, alasannya ada dua: yang pertama, kita memang belum bisa mengatur diri sendiri dan membuat keputusan yang tepat. Yang kedua, karena kita ini seakan-akan bagian dari hidup mereka, yang harus ikut mereka tata. Kalau anak-anak engga teratur, berarti hidup mereka juga bisa jadi berantakan. Jadi, sebisa mungkin hidup kita akan diatur sedemikian rupa sehingga mendukung terlaksananya kehidupan mereka dengan baik dan lancar.
Oke, tapi saya mau sedikit berargumen; patut banget untuk diingat bahwa semua itu bisa dilakukan waktu kita masih kecil! Waktu kita belum tahu bahwa ada yang namanya mimpi, keinginan, cita-cita. Dan bahwa semua itu bisa menjadi kenyataan kalau kita mengejarnya. Dan bahwa ada yang namanya pilihan.
Dan sayangnya, saya merasa bahwa terkadang para orang tua itu suka lupa bahwa anak-anaknya semakin dewasa. Bahwa perlahan, anak-anaknya mungkin bukan lagi merupakan suatu bagian dari hidup mereka yang perlu mereka tata, yang perlu mereka jadikan sedemikian rupa sehingga semuanya bisa berjalan sesuai rencana mereka. Bahwa perlahan, mereka harus mulai mempercayakan hidup anak-anaknya -yang sedikit banyak berarti hidup mereka, ke dalam tangan anak-anaknya sendiri.
Atau, mungkin mereka lupa rasanya menjadi seorang anak. Dan memang, mungkin memang lupa. Seringkali mereka bilang, bahwa di jaman mereka masih kecil, kehidupan enggak senyaman sekarang. Bahwa dulu jarang banget yang namanya mengungkapkan kasih sayang di keluarga. Bahwa cara pemikiran orang tua mereka kolot, sehingga mereka enggak bisa semaju yang seharusnya. Dan kemudian mereka bilang, bahwa mereka enggak mau jadi orang tua yang seperti itu. Mereka bilang, mereka akan berikan untuk anak-anak mereka, hal-hal yang enggak pernah diberikan oleh orang tua mereka dulu.
Ironisnya -dan harus diakui, bahwa kita akan cenderung menjadi sesuatu yang paling kita enggak mau. Dan sadar atau enggak sadar, orang tua kita itu akhirnya juga melakukan hal yang sama seperti yang mereka dapatkan dari orang tua mereka; simply karena mereka memang dididik dengan cara yang seperti itu selama berpuluh tahun! Dan terkadang mereka memang enggak bisa menyadari bahwa hidup itu progresif; anak-anaknya progresif; dan bahwa mimpi dari anak-anaknya di masa depan tidak bisa diraih dengan cara pemikiran dari masa lalu; tidak juga dari masa ini.
Salah satu tes kepribadian, pernah bilang bahwa saya waktu jadi orang tua akan cenderung obsesif sama pendidikan anak-anak saya. Yah, bukan enggak mungkin. Segala sesuatu bisa aja dilakukan secara enggak sadar. Dan saya enggak akan bilang bahwa saya engga mau jadi seperti itu. Tapi saya cuma bisa bilang, bahwa saya akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi busur, dan bukannya menjadi penghalang untuk mereka meraih yang terbaik yang bisa mereka raih, sekalipun itu berarti saya harus merelakan cara berpikir saya sendiri. Saya akan berusaha untuk percaya kepada mereka, sekalipun terkadang saya tidak akan mengerti keputusan mereka.
Terakhir, saya mau mengutip apa yang dirangkum oleh Kahlil Gibran sebagai peran orang tua:
Dan seorang wanita yang mendekap anaknya berkata:
Bicaralah pada kami perihal anak-anak.
Maka orang bijak itupun bicara:
Puteramu bukanlah puteramu.
Mereka adalah putera-puteri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka datang melalui kamu tapi tidak dari kamu.
Dan sungguhpun bersamamu mereka bukanlah milikmu.
Engkau dapat memberikan kasih sayangmu tapi tidak pendirianmu.
Sebab mereka memiliki pendirian sendiri.
Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya tapi tidak bagi jiwanya.
Lantaran jiwa mereka ada di masa datang, yang tak bisa engkau capai sekalipun dalam mimpi.
Engkau boleh berusaha mengikuti alam mereka, tapi jangan mengharap mereka dapat mengikuti alammu.
Sebab hidup tidaklah surut ke belakang, tidak pula tertambat di masa lalu.
Engkau adalah busur dari mana bagai anak-panah kehidupan putera-puterimu melesat ke masa depan.
-Kahlil Gibran
No comments:
Post a Comment